Diam-Diam Ini Kian Meresahkan | Kontemplasi Akibat: Kemarau (A. A. Navis)

"Meminta yang bukan-bukan, Tuhan akan marah pula. Yang boleh kita minta kepada Tuhan hanyalah agar jerih payah kita berbuah. Meminta tanpa usaha, hanya murka Tuhan-lah yang akan kita terima."

Awalan

Quote diatas merupakan kalimat yang terpaksa saya cari di goodreads karena lupa ada di halaman berapa. Kalimat yang diucapkan Sutan Duano kepada Acin yang kebingungan. Kalimat ini cukup terngiang karena walaupun saya tidak percaya akan kehendak tuhan, namun akibat timbal balik dari proses jujur memang membuahkan hasil yang setimpal.

Muasal novel ini ada ditangan saya perkara Gramedia yang semerta-merta memberi diskon via email. Walau saya pribadi tidak suka baca novel karena; bisa jadi memang tidak bisa baca cerita panjang; juga tidak ada novelis yang penggambarannya cocok dengan imajinasi saya. Namun akhirnya terbeli juga karena apa lagi kalau bukan A. A. Navis, maestro dibalik novel ini. Inti cerita awalnya adalah seorang pendatang yaitu Sutan Duano yang terdampar disebuah perkampungan. Suatu saat terjadi kekeringan yang melanda kampung. Lama nya hujan tak kunjung datang membuat panik warga yang bikin mereka datangi dukun hingga sembahyang. Lantas tak kunjung hujan, mereka malah coping dengan main gaple. Seru benar! No, inti menarik cerita ini adalah perjuangan Sutan Duano yang berusaha merubah mindset warga kampung agar mau berusaha bagaimanapun sulit dan kecilnya peluang. Namun disepanjang novel, akan ditambah intrik dari masa lalu Sutan Duano dan konflik warga kampung.

Tengahan

Sejujurnya, sudah lama sekali saya tidak tenggelam dalam imajinasi akibat buku. Terutama setelah habis baca cerpen "Jodoh" karya maestro yang sama. Dalam kemelut pikiran saya dengan novel ini mungkin terdapat pelarian saya akibat pertengkaran saya dengan pacar hari itu. Sehingga terasa menyenangkan tidak mikirin pacar yang "begitu-begitu saja". Novel ini saya anggap terdapat 2 arc cerita. Arc pertama adalah masalah Sutan Duano yang bergelut dengan warga masalah mengangkat air dari sungai demi sawah yang kekeringan. Arc kedua adalah masalah Sutan Duano antara masa lalunya dengan apa yang ada disekitarnya.

Arc pertama membuat saya malu bukan main. Pasalnya, yang kesindir adalah saya sendiri. Navis kerap memberikan sindiran dalam tulisannya. Berhubung yang dibahas adalah rasa malas warga dalam mengejar kemakmuran, of course saya ikut kesentil. Saya meyakini bahwa bangsa kita adalah bangsa yang tekun lagi ulet. Tapi entah mengapa, selama membaca arc pertama, selama itu pula saya menjadi sadar. Sadar kalau saya malas. Kalau hari tak ada tugas maupun kerjaan. Maka berusaha terlihat sibuk dengan scrolling hp adalah coping yang candu. Dalam "Kemarau", sudah syukur warga mau berusaha dengan datang ke dukun hingga sembahyang pada tuhan agar segera dilenyapkan wabah sawahnya. Lah saya sendiri sudah tida berdoa, senangnya membayangkan kemakmuran sembari rebahan nonton shitpost.

Berhenti membaca pada arc pertama, kepala serasa berat bukan main. Walau sudah malam, entah yang dipikirkan waktu itu cuman satu, GIMANA HARUS PRODUKTIF HEUUU? Penggambaran Sutan Duano seperti bijaksana, rajin, ulet, cerdas lagi berwibawa serta rajin belajar hingga kritis seakan adalah imaji saya yang lama diidamkan. Sebagai pria yang malas lagi amoral, tentu menjadi seorang Sutan Duano adalah cita-cita mulia. Tetiba saja, selama 20 tahun kebelakang saya serasa tidak ngapa-ngapain. Tidak tambah skill, sertifikat hingga tambah relasi. Kalau ada yang bertanya apa yang bertambah? maka hemat saya hanya berat badan, rasa insecure serta khawatir akan masa depan. Oleh karenanya, tidak tidur hingga pukul tiga pagi merupakan akibat tertancapnya ejekan Navis untuk warga yang malas seperti saya.

Akhiran

Pada arc kedua memang tidak begitu nendang seperti arc sebelumnya. Drama warga dengan Sutan Duano ya tidak jauh dari emaknya Acin, gosip warga dan masa lalunya. Tidak banyak yang bisa diceritakan kecuali memang benar, sepertinya tinggal di desa yang penuh janda muda berpeluang untuk punya banyak istri. Sialnya, Sutan Duano bukan seperti saya yang suka bergumul. Sedih. Alih - alih fokus konflik cerita, saya kepikiran mungkin kalau kita menjadi pribadi yang dipandang warga, barang tentu mau dekati siapa saja bukan hal sulit.

Ada satu hal yang menarik. Untung ingat. Sutan Duano semenjak ditinggal mati istrinya sedih bukan kepalang. Kerjaanya jauh dari kata baik seperti mabuk, pelacuran dan kawan-kawannya. Anaknya terlantar hingga kabur dari rumah. Inilah yang menjadi titik dimana Sutan Duano merasa perlu untuk berubah. Oleh karenanya ia pergi ke kampung dan berhasil menjadi "orang". Namun yang menariknya, istri kesekian Sutan Duano justru berkilah, buat apa kamu berhasil di kampung orang, berbuat baik dan semacamnya namun masalah akibat masa lalu tidak kunjung diluruskan? Akibat kalimat ini, rasanya menjadi baik di mata orang yang punya salah dengan kita menjadi sia-sia. Dititik ini, saya mulai merenung. Memang benar ada beberapa orang yang walau jahat, hidupnya selalu lebih baik dari kita. Itulah pahitnya kehidupan. Namun, jika kita telah melukai seseorang, sanggupkah kita melihat dampak ulah kita sendiri?

Penutup

Sebangunnya setelah membaca novel, mulailah saya bergegas. Apapun yang bisa dikerjakan saya kerjakan. Walau masih suka ya sedikit-sedikit main game. Anggap saja istirahat. Sejujurnya, bila bisa mengucap terimakasih langsung kepada Navis, saya akan mengucapkan dengan ketulusan yang terdalam. Sebab, hingga tulisan ini selesai, kalimat sindirannya tertanam dalam di hati. Biarlah saya berusaha sekuatnya, masalah hasil bisa saya ukur sendiri dengan kerja yang saya lakukan. Terimakasih

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cara Efektif Hilangkan Kebiasaan Buruk

Ingin Dilihat Menarik Adalah Karmadangsaku | Kontemplasi Akibat: Psikologi Suryomentaraman (Afthonul Afif)