Walau Dosen, Tapi Ia Goblok Lagi Cebong | Kontemplasi Akibat: Matinya Kepakaran (Tom Nichols)

"Mungkin ini terdengar lancang, tapi sebagian dari kita memang tidak cukup cerdas untuk mengetahui bahwa kita salah, sebaik apapun niat kita"

Awalan

"Walah jancuk arek'e cebong", "Kui itu kampret utek'e nang satelit", "Prof ini kalo dikelas ngomong apa sih? kalo ngajar ga bener mesti ga pinter ini materinya", "Rektor goblok kebijakan begini saja tidak matang pemikiranya"."Ini pendapat ahli kok bisa goblok gini bijimana sih?". Saat masa pilpres antara jokowi vs probowo, luar biasa laju kencang opini yang mendesing tiap media sosial. Saya sih tidak perduli, toh mau opini mereka seperti apa, kalau kita bekerja ya tetap bisa makan. Namun yang menarik bukan soal itu, tren yang meningkat adalah perkara mudah sekali menghujat seorang walau tau apa yang dibicarakan merupakan aspek keahlian orang yang dihujat. Sebagai contoh, pada saat seorang ahli politik memberi opini terkait kebijakan pemerintah yang dimana si ahli lulusan S2 luar negeri, kok bisa-bisanya dikatain goblok dan dibalas opininya oleh seorang yang bahkan pendidikannya tidak setara.

Keresahan ini yang membuat saya bertanya-tanya, ada apa gerangan terjadi dengan kita? Diluar anonimitas dan kebebasan semu internet, apa yang melandasi bahwa opini kita lebih baik dari para ahli sekalipun? Landasan ini merupakan mengapa buku Tom Nichols menjadi bacaan non-fiksi selingan yang menarik.

Tengahan

Sebagai penulis, tentu mengungkap masalah berdasarkan banyak sudut pandang bukan perkara mudah. Tidak hanya itu, menghilangkan bias konfirmasi sebagai pencari kebenaran jauh lebih sulit. Buku ini merupakan buku yang bahasannya berat namun enak dibaca. Pembahasan mengenai matinya kepercayaan warga terhadap pakar penuh dengan sisi yang sangat dilematis. Sudut pandang yang jelas dalam buku ini adalah pandangan penulis sebagai ahli dengan melihat sisi reaksi warga dan asal-usul reaksi itu. Karena begitu banyak, ketertarikan saya hanya sampai pada beberapa inti yang sebenarnya, di tanah air ini cukup mengkhawatirkan.

Sebagai mahasiswa, sudah tentu inginnya kualitas terbaik. Apa saja yang terbaik? wah kalau bisa harus semuanya. Jangankan kualitas dosen, kualitas engsel pintu kelas kalau perlu yang paling fantastis. Tapi apa sampean mau membayar semua ini? boleh, tapi harus yang paling murah. Tapi karena saya sudah membayar, maka fasilitas lagi hasil ilmu yang kami dapat harus sempurna. Sempurna nilai, sempurna ijazah dan mudah skripsinya.

Ada fenomena menarik yang terjadi selama saya berkuliah di Malang. Saya selalu berpikir, bahwa walau kualitas dosen berserta jajaran birokrasi hingga kualitas kayu kursi berpengaruh terhadap mahasiswa, jelas yang menentukan hasil adalah mahasiswa itu sendiri. Tapi pengalaman di Malang, sangat berbeda dengan buah pikiran saya. Saya tidak mengerti mengapa teman-teman saya, selagi bisa bertanya di kelas enggan mengeluarkan ucapan yang mungkin hasilnya bisa mencerahkan. Alih-alih bertanya, malah cenderung mencela dosen. Celaannya pun sudah tentu tak jauh dari kata cara mengajar, jumlah slide, boring, ga interaktif, terlalu sulit hingga ga cocok ngajar emang. Dalam diam dikelas, saya sebenarnya memaklumi karena memang dosen yang di tuju punya gaya mengajar yang cenderung membosankan. Bukan berarti yang dia katakan kosong tak berilmu. Awalnya, pikir saya mungkin ini karena perbedaan budaya karena saya punya pengalaman kuliah di tempat lain yang memang serius belajar. Jadi tidak saya hiraukan. Namun begitu sesampainya di Bab Mahasiswa dengan Ahli dalam buku ini, saya sadar bahwa ternyata budaya ini turut mendukung kematian pakar.

Alasan saya berkuliah di Malang sebenarnya ada dua. Jurusan psikologinya memumpuni dan kotanya yang ramah dompet dan cuaca. Pengalaman saya belajar di kampus sebelumnya menciptakan mindset bahwa kuliah memang tempat yang tidak enak. Banyak mikir, banyak tugas dan banyak hal yang perlu dikerjakan. Tentu dengan tujuan mempertajam pikiran sehingga memiliki nalar yang lurus lagi berguna. Seiring berjalan waktu, culture shock terjadi. Selain contoh diatas, hal yang paling menarik ialah banyak mahasiswa cenderung tidak tau mengapa ia mengambil jurusan yang ditekuni. Tom mungkin benar, bahwa mahasiswa datang ke kampus bukan untuk menjadi pribadi yang lebih baik, tetapi untuk merasakan sensasi kuliah saja. Tidak ada masalah sebenarnya terkait pemikiran Tom, tapi saya juga merasa teman-teman saya tidak salah.

Kampus merupakan tempat yang dinamis. Selain menjadi wadah ilmu pengetahuan, ia juga menjadi wadah pergerakan serta ruang lingkup sosial yang luas. Jika ada teman yang ingin kuliah karena ingin mengejar link mahasiswa kaya? ya tidak mengapa. Kalau kuliah karena disuruh orang tua? ikuti saja selagi orang tua bertanggung jawab. Lalu dimana letak salahnya? Salahnya adalah bila sudah tau tujuan tapi enggan untuk mengambil keuntungan lebih dengan tetap ikut belajar. Saya contohkan begini, saya tidak bisa tidak menyalahkan kampus karena mahasiswa cenderung tidak di pancing rasa keingintahuannya terkait pembelajaran. Padahal bisa jadi mereka belum tertarik dan buka karena tidak bisa. Orang-orang dengan niat mencari hal lain diluar akademik, sebenarnya bisa memanfaatkan momen di kelas seperti tetap belajar, atau paling tidak ikut berdiskusi saja. Kalau materinya tidak masuk, setidaknya kekritisan kita tidak hilang. Lebih baik lagi bila ternyata akibat rajinnya berdiskusi, materi masuk dan nalar semakin tajam. Karena masalah ini, wajarlah ketika semua orang yang lulus dari kampus merasa mereka berilmu. Dan karena masifnya lulusan kuliah, semakin rendahlah ekspektasi keilmuan warga terhadap lulusan sarjana.

Akhiran

Jika dosenmu mengajar dengan cara yang tidak enak, tidak ramah, lagi tidak menyenangkan. Akali dulu dengan belajar sebisamu. Kalau memang sudah mentok, lakukan advokasi dengan pihak himpunan bahwa kamu dan teman-teman sekelas tidak bisa belajar dengan maksimal. Ini berarti, ikhtiar merupakan cara yang pertama wajib ditempuh. Selain menurunkan ego sebagai mahasiswa, kita juga sedang berusaha merendah diri untuk mendapat ilmu lebih banyak lagi. Bukan hal buruk menerima dosen dengan berbagai macam gaya mengajarnya. Dulu guru SMA saya mengajarkan bahwa tidak sopan duduk di kursi guru, karena ada keberkahan sang guru dalam kursinya. Tentu saja secara harfiah, bukan berarti tidak boleh duduk di kursi dosen, toh saya sangat senang pada saat presentasi menjejalkan pantat pada meja dosen. Namun yang perlu dilihat adalah bagaimana kita menghargai guru dimana kita menimba ilmu. Karena pada dasarnya, cara mengajar dan kualitas ilmu yang diberikan tidak bisa dibandingkan sebagai hal yang sama.

Penutupan

Menjaga lisan, rasanya seperti mengatur mobil parkir. Sering kali tersadar salah apabila sudah menabrak. Menjadi orang bijak tentu mengutamakan lisan yang fasih dalam berkata baik ataupun seperlunya. Masih jauh dari kata bijak, menjaga lidah untuk diri sendiri saja susahnya bukan kepalang. Selama penulisan naskah ini, saya sedang mengerjakan skripsi. Tidak sedikit saya menghujat dosen karena gaya ngajar yang bikin saya tidur dikelas. Hasil yang di dapat hanya absen dan rasa sesal. Bila kamu sedang membaca ini dan masih masuk kelas, mari kita kembali melihat tujuan dari kenapa kamu ada disitu. Bila tidak mengerti, itu hal wajar. Setidaknya coba perhatikan lagi dengan perlahan. Atau ajak diskusi saja. Harapannya, bila sejak mahasiswa kita telah memupuk diri bahwa sebagai ahli, memang mereka tidak luput dari kesalahan. Namun kita sebagai mahasiswa menjadi lebih arif lagi berilmu. Hingga pada akhirnya, mahasiswa yang berintegritas pada ilmu bagaimanapun niat awal, kebiasaan hingga sepak terjangnya di kampus tetap memiliki kerangka berpikir yang memumpuni untuk menjalani hari-hari sebagai manusia yang berfaidah.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cara Efektif Hilangkan Kebiasaan Buruk

Ingin Dilihat Menarik Adalah Karmadangsaku | Kontemplasi Akibat: Psikologi Suryomentaraman (Afthonul Afif)

Diam-Diam Ini Kian Meresahkan | Kontemplasi Akibat: Kemarau (A. A. Navis)